Article Detail
Mewujudkan Pendidikan Karakter Yang Berkualitas
Dalam tataran teori, pendidikan karakter sangat
menjanjikan bagi menjawab persoalan pendidikan di Indonesia.
Namun dalam tataran praktik, seringkali terjadi bias dalam penerapannya. Tetapi
sebagai sebuah upaya, pendidikan karakter haruslah
sebuah program yang terukur pencapaiannya. Bicara mengenai pengukuran artinya
harus ada alat ukurnya, kalo alat ukur pendidikan matematika jelas, kasih soal ujian jika
nilainya diatas strandard kelulusan artinya dia bisa. Nah, bagaimana
dengan pendidikan karakter?
Jika diberi soal mengenai pendidikan karakter maka
soal tersebut tidak benar-benar mengukur keadaan sebenarnya. Misalnya, jika
anda bertemu orang yang tersesat ditengah jalan dan tidak memiliki uang untuk
melanjutkan perjalananya apa yang anda lakukan? Untuk hasil nilai ujian yang baik maka jawabannya
adalah menolong orang tersebut, entah memberikan uang ataupun mengantarnya ke
tujuannya. Pertanyaan saya, apabila hal ini benar-benar terjadi apakah akan
terjadi seperti teorinya? Seperti jawaban ujian? Lalu apa alat ukur pendidikan karakter?
Observasi atau pengamatan yang disertai dengan indikator perilaku yang dikehendaki.
Misalnya, mengamati seorang siswa di kelas selama pelajaran tertentu, tentunya
siswa tersebut tidak tahu saat dia sedang di observasi. Nah, kita dapat
menentukan indikator jika dia memiliki perilaku yang baik saat guru menjelaskan, anggaplah mendengarkan dengan seksama,
tidak ribut dan adanya catatan yang lengkap. Mudah bukan? Dan ini harus
dibandingkan dengan beberapa situasi, bukan hanya didalam kelas saja. Ada
banyak cara untuk mengukur hal ini, gunakan kreativitas anda serta kerendahan
hati untuk belajar lebih maksimal agar
pengukuran ini lebih sempurna.
Membentuk siswa yang berkarakter bukan suatu upaya mudah dan
cepat. Hal tersebut memerlukan upaya terus menerus dan refleksi mendalam untuk
membuat rentetan Moral Choice (keputusan moral) yang harus
ditindaklanjuti dengan aksi nyata, sehingga menjadi hal yang praktis dan
reflektif. Diperlukan sejumlah waktu untuk membuat semua itu menjadi custom
(kebiasaan) dan membentuk watak atau tabiat
seseorang. Menurut Annie Sullivan (manusia buta-tuli pertama yang lulus cum
laude dari Radcliffe College di tahun 1904) “Character cannot be
develop in ease and quite. Only through experience of trial and suffering can
the soul be strengthened, vision cleared, ambition inspired, and success
achievedâ€.
Selain itu pencanangan pendidikan karakter tentunya
dimaksudkan untuk menjadi salah satu jawaban terhadap beragam persoalan bangsa
yang saat ini banyak dilihat, didengar dan dirasakan, yang mana banyak
persoalan muncul yang di indentifikasi bersumber dari gagalnya pendidikan dalam menyuntikkan nilai-nilai moral terhadap peserta didiknya. Hal ini tentunya
sangat tepat, karena tujuan pendidikan bukan hanya melahirkan
insan yang cerdas, namun juga menciptakan insan yang berkarakter kuat. Seperti
yang dikatakan Dr. Martin Luther King, yakni “intelligence plus character
that is the goal of true education†(kecerdasan yang berkarakter adalah
tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya).
Banyak hal yang dapat dilakukan untuk
merealisasikan pendidikan karakter di sekolah. Konsep karakter tidak cukup dijadikan
sebagai suatu poin dalam silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran di sekolah, namun harus lebih dari itu,
dijalankan dan dipraktekan. Mulailah dengan belajar taat dengan peraturan sekolah, dan
tegakkan itu secara disiplin. Sekolah harus menjadikan pendidikan karakter sebagai
sebuah tatanan nilai yang berkembang dengan baik di sekolah yang diwujudkan dalam
contoh dan seruan nyata yang dipertontonkan oleh tenaga pendidik dan
kependidikandi
sekolah dalam keseharian kegiatan di sekolah.
Di sisi lain, pendidikan karakter merupakan
upaya yang harus melibatkan semua pemangku kepentingan dalampendidikan, baik pihak keluarga, sekolah dan lingkungan sekolah dan juga masyarakat
luas. Oleh karena itu, langkah awal yang perlu dilakukan adalah membangun
kembali kemitraan dan jejaring pendidikan yang kelihatannya mulai
terputus diantara ketiga stakeholders terdekat dalam lingkungan sekolah yaitu guru, keluarga dan masyarakat. Pembentukan dan pendidikan karakter tidak
akan berhasil selama antara stakeholder lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan keharmonisan.
Dengan demikian, rumah tangga dan keluarga sebagai lingkungan pembentukan dan pendidikan karakter pertama
dan utama harus lebih diberdayakan yang kemudian didukung oleh lingkungan dan kondisi pembelajaran di sekolah yang memperkuat siklus
pembentukan tersebut. Di samping itu tidak kalahpentingnya
pendidikan di masyarakat. Lingkungan masyarakat juga sangat
mempengaruhi terhadap karakter dan watak seseorang. Lingkungan masyarakat luas sangat
mempengaruhi terhadap keberhasilan penanaman nilai-nilaietika, estetika untuk pembentukan karakter.
Menurut Qurais Shihab (1996; 321), situasi kemasyarakatan dengansistem nilai yang dianutnya, mempengaruhi sikap
dan cara pandang masyarakat secara keseluruhan. Jika sistem nilaidan pandangan mereka terbatas pada kini
dan disini, maka upaya dan ambisinya terbatas pada hal yang sama.
Ingin mewujudkan pendidikan karakter yang
berkualitas? Maka kuncinya sudah dipaparkan diatas, ada alat ukur yang benar
sehingga ada evaluasi dan tahu apa yang harus diperbaiki, adanya tiga komponen
penting (guru, keluarga dan masyarakat) dalam upaya
merelaisasikan pendidikan karakter berlangsung
secara nyata bukan hanya wacana saja tanpa aksi. Ingat, Pendidikan karakter melalui
sekolah, tidak semata-mata pembelajaran pengetahuan semata, tetapi lebih dari
itu, yaitu penanaman moral, nilai-nilai etika, estetika, budi pekerti yang luhur. Dan yang
terpenting adalah praktekan setelah informasi tersebut di berikan dan lakukan
dengan disiplin oleh setiap elemen sekolah.
-
there are no comments yet