Article Detail
Cerita dari Buniayu (1) – TPU Buniayu
Buniayu
… sebuah kata yang tiba - tiba banyak dibicarakan orang saat wabah mencapai puncak duka. Ya … kesanalah semua berujung dan berakhir untuk
warga Tangerang kabupaten khususnya.
Berada
di sisi utara anak sungai Cisadane yang membentang lebih dari 30 kilometer di
sisi Jalan Raya Cadas – Rajeg, yang di kanan dan kirinya menyediakan sumber
kehidupan bagi penduduk dengan berternak bebek juga ikan berbagai jenis, desa
Buniayu ini berada. Berpadu dengan bukit
– bukit kecil, rimbunnya pepohonan dengan hiasan situ – situ kecil memang
membuat daerah ini layak mempunyai keayuan yang nyata.
Namun
keayuan yang tersembunyi itu, tiba – tiba berubah menjadi cerita sedih dan
pilu. Sebuah makam disebut juga Taman Pemakaman Umum, yang dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Tangerang dan saat
pandemi covid-19 menggila, dikhususkan untuk yang meninggal dengan status
positif covid-19.
Tak
ada yang terlihat enak dipandang memasuki komplek pemakaman umum ini. Sebuah
gapura sederhana, disampingnya berdiri dua bangunan yang terlihat kusam,
mengapit jalan kecil membelah di tengah pemakaman. Bangunan di sisi utara
sebagai kantor pemakaman, lalu di sisi selatan terlihat alat – alat
pemeliharaan makam, juga nisan – nisan yang berjajar siap dipasang. Papan nama bercat putih dengan hiasan karat, hasil
lukisan hujan, panas matahari dan angin, menambah kesan muram dan aura
kesedihan. Ada juga sebuah excavator berwarna biru dengan balutan lumpur
mengering tanda kerja keras telah diselesaikannya.
Masuk
lebih ke dalam, kurang lebih 100 meter dari gerbang, di sisi selatan tersedia
tempat parkir khusus ambulan pengantar jenasah dengan conblok yang mulai tercerai
berai dengan lumpur – lumpur mengering juga rumput yang berebut ruang.
Untuk
parkir para keluarga pengantar ada tanah kosong dengan tapak – tapak ban kendaraan
yang mulai melukai tanah mencipta cekungan dengan hiasan air di dalamnya.
Sebuah
jalan dengan ukuran kurang lebih 3 meter membelah di tengah pemakaman, yang
konon luasnya mencapai 40 hektar ini yang
sampai bulan Juli ini sudah lebih dari 1300 orang dimakamkan.
Pemakaman
blok Kristen Katolik berada di sisi utara atau sisi kiri dari arah pintu
masuk. Dengan kontur tanah miring
berujung pada suatu cekungan dengan genangan air seluas kurang lebih selapangan
volly, dengan rumput – rumput yang terlihat subur di sekelilingnya. Di seberang cekungan ke arah timur laut
sebuah bukit kecil menjadi penanda akhir pandangan kita. Lalu di sisi utara
sebuah bangunan cukup besar terlihat sisi belakangnya, entah pabrik atau apa, berdampingan dengan sebuah kandang peternakan
ayam di sebelahnya. Tak ada yang
mengesankan.
Ada
dua jalan yang bisa dipilih untuk mencapai pemakaman umum ini yang berjarak
kurang lebih 35 - 40 kilometer dari Gading
Serpong. Pertama kita bisa melalui jalan tol Jakarta – Merak, keluar di pintu
tol Balaraja Timur atau Balaraja Barat bebas dipilih. Sesampainya di bawah
jembatan layang Balaraja pilih arah ke alan Raya Kresek yang melewati Pasar
Balaraja.
Bagi
para pustakawan, kolong jembatan Balaraja ini pasti cukup akrab di telinga,
karena di bawah jembatan layang ini ada Taman Bacaan Masyarakat, atau biasa
disebut TBM yang cukup aktif dengan berbagai kegiatan. Sayang pandemi terjadi,
sepintas yang terlihat hanya kursi – kursi yang tertata rapi di atas meja –
meja belajar menghias kolong jembatan, yang disekitarnya cukup sibuk dan ramai
dengan aktivitas perdagangan. Biasanya di tempat ini cukup banyak kegiatan
untuk mengembangkan dan memfasilitasi minat baca masyarakat, terutama anak - anak.
Pilihan
jalan lain, kita bisa melalui jalan biasa dengan menyusuri jalan Cadas – Kukun
kurang lebih sejauh 20 kilometer. Jalan ini cukup ramai dengan berbagai
kendaraan, karena merupakan jalan tembus terpendek untuk mencapai arah
Balajara. Di beberapa tempat kita akan melihat pemandangan yang menghibur, ibu
– ibu mencuci pakaian di kali anak sungai Cisadane ini dengan air berwarna kecoklatan. Namun mereka terlihat nyaman. Kalau “beruntung” juga
ada pemandangan anak – anak yang dengan riang berenang dan bermain di sepajang
sungai ini.
Buniayu
secara bebas bisa diartikan keayuan/keindahan yang tersembunyi, tetapi kini
mungkin tidak lagi. Di sana ada keramaian siang dan malam, saat wabah memuncak
dan menjadi muara dari duka dan pilu ribuan keluarga yang menjadi korba covid
19. Pun demikian kita tetap berharap di tempat keayuan yang tersembunyi itu,
saudara – saudara kita, yang telah mengakhiri pertandingan dengan hebat,
termasuk teman kita Pak Santo, memperoleh kedamaian dan kebahagiaan kekal
bersama sang khalik. Semoga!
_Fidirikus Tri Hatmoko (Pustakawan SMA TarGadS)_
-
there are no comments yet