Article Detail

Cerita Dari Buniayu (4) – Nazar Ku

 

Cerita Dari Buniayu (4) – Nazar Ku

 

Subuh yang Pilu, begitu batinku mengenang. Kabar duka yang datang menjelang hari berganti itu, sungguh membuat hati bergetar.  Benar Firasatku sejak hari sebelumnya. Rentetan tanya dan tawaran untuk datang ke Rumah Sakit sebagai buktinya.

Ingatanku  tiba – tiba melayang 11 tahun silam, saat duka yang sama datang. Seorang teman tak dinyana begitu cepat pergi, dengan status suspect Flu Burung. 2 Jam sebelumnya masih bisa melambaikan tangan dengan tatapan kuat saat melewati kami  yang hadir member semangat,  didorong menuju ruang ICU. Tak lama kabar buruk menyeruak. Kami menyerbu ICU. Saya memaksa masuk ke ruang perawatan dan CPR masih dilakakukan. Namun takdir berkata lain, ajal menjemputnya.

Di Bulan yang sama 11 tahun kemudian, kejadian pilu ini kembali terulang. Jahanam Sarscov2 musababnya. Tak pernah menduga  di antara kita akan ada yang menjadi korban ganasnya wabah setelah berjalan hampir 1.5 tahun.

“Apa yang bisa saya bantu pak?” Aku mencari tahu ke Pak Ponco, setelah sedikit bisa menenangkan hati.  Selumnya mencari tanya ke Bu Valent, mendapat jawaban masih menunggu keputusan Yayasan.

Almarhum harus mendapatkan penguburan yang terbaik dalam situasi pandemi ini. Itu tekat saya. Pengalaman beberapa warga yang dimakamkan dengan keterbatasan, tanpa dihantar kerabat dan keluarga, tanpa doa selayaknya, tanpa taburan bunga tanda cinta,  juga tanpa salib tanda kemenangan iman kita sangat meluka nalar ku.

“Pak Moko siap untuk pimpin doa di makam?” tanya pak Ponco sebelum saya berangkat mencari ‘uba rampe ‘ untuk pemakaman. “Dengan suka cita, siap!” Baju, buku, masker dll. Sekejap istri sudah menyiapkan semua dalam tas kain warna biru.  Waktu menujuk kurang lebih pukul 03.30 WIB saat  saya melajukan kendaraan menyusuri jalan Raya Serpong menuju Pasar Baru Tangerang.

“Bisa pesan bunga salib sekarang pak?” tanya ku ke tukang bunga. “Gak bisa ditunggu pak. Mungkin jam 7an baru bisa.” Beringsut ke pedagang lain, jawabannya sama. Pedagang ke 4, dengan kain sarung dileher dan wajah kantuk.  “Bisa pak. Tunggu sekitar 45 menitan ya.” Lega dengan jawabannya.

Menjelang pukul 05.30 WIB hanya salib kayu yang belum ada. Telepon 2 langganan ternyata tidak tersedia. “Pak … iki salibe rung entuk. Solusine gawe wae. Uday  dimintai tolong wae kon gawe. “ Saya memberi tahu pak Ponco tetang apa yang belum siap untuk keperluan pemakaman yang kabarnya akan dilakukan sekitar pukul 07.00WIB.

Setelah semua siap, kendaraan saya pacu mengarah ke SMA Tarakanita Citra Raya, tempat yang kami sepakati sebagai titik kumpul sebelum menuju Rumah Sakit Balaraja.

            “Pak … njenengan tidak diijinkan Bu Rin untuk ikut ke makam.” Kata pak Ponco begitu saya turun dari kendaraan. Saya mematung diam, bersandar di kendaraan. Ada rasa kecewa dan sedih. Tapi saya memilih diam! Pikiran dan hati bergejolak. Harapan menghantar Pak Santo di Penguburan seperti niat hati tak bisa terwujud.

“Tapi ada yang mendoakan di makam to?” tanyaku memastikan. “ Ada pak. Saya dan pak Paulus. Kami sudah siap jas hujan untuk mengganti APD. “ Ada rasa kecewa dan sedih … Tapi karena dalam bingkai dinas lembaga saya harus taat.

“Lik … maaf tidak bisa menghantarmu sampai pemakaman. Aku berjanji akan mengunjungi makammu, membawakan bunga dan mendoakanmu sebelum 40 hari peringatan kepergianmu.” Kataku lirih sambil memindahkan bunga – bunga tabur, bunga salib  dan minyak wangi ke mobil Pak Ponco. Tiba – tiba dada terasa penuh, dan mata terasa kabur terlahalang air mata yang tak bisa ku tahan.

Maka hari ini (11/8), setelah 20 hari kepergian almarhum, bersama isteri dan anak, niatku memenui janjiku. “Tuhan tunjukkan jalan dan makamnya. Saya belum tahu tempatnya. Jalannya pun belum pernah melewatinya.” Doa ku sebelum berangkat. “ Lik … tulung dibantu, tunjukkan di mana pusaramu. Aku mau memenuhi janjiku.”

Saya percaya bahwa roh itu masih tetap hidup dan mendengarkan setiap doa dan percakapan yang kita lakukan. Begitu turun dari kendaraan, mata ku seperti ditarik ke satu salib, dari sekian banyak salib di makam blok Kristen itu. Mungkin saja Pak Santo sedang berdiri di sana, sambil ngawe – awe ... dengan senyumnya yang irit seperti biasanya, menunggu kedatanganku.  Ini bisa jadi khayalan semata. Boleh tidak percaya.

Puji syukur kepada Tuhan janjiku, nazarku terpenuhi sudah. Sebab seperti tertulis dalam kitab suci, “Apabila seorang laki – laki bernazar atau bersumpah kepada Tuhan, sehingga ia mengikatkan dirinya pada suatu janji, maka janganlah ia melanggar perkataanya itu ; haruslah ia berbuat tepat seperti yang diucapkannya itu.” ( Bil. 30:2). 

Beristirahatlah dalam kedamaian abadi kawanku … . Aku selalu mengenang seluruh kebaikan dan perhatianmu. Tak lekang waktu,  kenangan saat pertama bertemu di toko ATK dan Foto Coppy di bawah jembatan penyeberangan Jalan Daan Mogot, di akhir tahun 1997 itu.  Kita janjian untuk mencetak beberapa buku administrasi guru, juga membeli stempel penanda tanggal semi otomatis sesuai usulanmu dan kamu mengajari aku bagaimana cara memakai barang yang sungguh asing itu bagiku.

            Tuhan … karena Kerahimanmu, ampuni segala dosanya dan berilah dia istirahat yang damai bersama para kudusmu di surga.

 

Berkah Dalem.

(selesai)

_Penulis : Fidirikus Trihatmoko – Puatakawan SMA TGS_

 

 

 

 

 

Comments
  • there are no comments yet
Leave a comment