PENTINGNYA BELAJAR
Mentari pagi menggelitik mataku, kicauan burung terus bersenandung di telinga. Pada pagi yang cerah ini, kuawali hariku dengan penuh rasa syukur karena hingga saat ini aku masih diberi kesempatan untuk belajar memperbaiki diri, baik sebagai seorang pendidik maupun pembelajar. Sebagai pendidik, Tuhan menitipkan berkat untuk membina pembentukan karakter anak bangsa dan sebagai pembelajar aku merasa bahwa belajar merupakan bagian dari ibadah, serta proses untuk masa depan yang terang.
Pagi hari ini, seperti biasa aku mempersiapkan diri untuk melakukan pembelajaran daring, sistem pembelajaran yang sudah berjalan kurang lebih 1 setengah tahun, sejak pandemi Covid-19. Di masa ini, seorang guru harus lebih kreatif dalam menyajikan pembelajaran secara daring agar para siswa juga menjadi lebih bersemangat lagi dalam belajar meskipun tidak bisa bertatap muka secara langsung seperti dulu. Hal ini merupakan tantangan tersendiri bagiku dan siswa-siswi lainnya.
Setiap hari, setiap jam, aku harus memantau kehadiran siswa dan tugas siswa. Ada kekhawatiran tersendiri terkait pemahaman mereka atas penjelasan materi maupun instruksi yang aku berikan secara daring untuk penugasan. Namun demikian, aku bersyukur dari 6 kelas atau sekitar 206 orang siswa yang menjadi tanggung jawabku, hampir 97% siswa mengerjakan tugasnya. Belum lagi aku harus membalas pesan satu persatu dari siswa yang mendapat kendala dalam belajar. Dapat dibayangkan betapa melelahkannya hal tersebut, terkadang sampai jari-jari tanganku terasa cukup melelahkan akibat tidak bisa jauh dari ponsel. Selain itu, sistem pembelajaran daring ini sebenarnya membuat para pengajar bekerja melebihi jam kerja biasanya. Sekarang karena semua dilakukan secara online, dan komunikasi mengenai pekerjaan berlangsung dari pagi hingga malam hari. Pekerjaanku seakan tak ada batas waktu.
Suatu hari menjelang sore aku mendapatkan informasi dari beberapa guru mata pelajaran lain bahwa salah satu siswaku tidak mengerjakan tugasnya, hampir sekitar tiga minggu. Siswa tersebut tidak bisa dihubungi melalui telepon, whatsapp, maupun Facebook, dan teman-teman di kelasnya pun tidak mengetahui kabarnya. Maka kuputuskan untuk mencari tahu keberadaannya. Sebagai wali kelas, aku cukup mengenal siswa-siswa di kelasku. Aku selalu mengamati bagaimana karakter mereka masing-masing dan pola pertemanan antara mereka di kelas setiap harinya.
Pertama-tama aku mencoba mencari informasi dengan menghubungi teman dekatnya, namun ternyata ia sudah lama tidak berkabar dengannya. Akhirnya kuputuskan untuk berkunjung ke rumahnya. Berdasarkan data siswa, ternyata rumahnya berlokasi di salah satu daerah yang cukup jauh dari keramaian, maklum daerah tersebut sudah berada di pinggiran kota.
Hari minggu, setelah menggosok gigi aku mulai meng-input nilai para siswa, aku harus pastikan semua siswa mampu mengerjakan tugas-tugas sekolahnya. Buru-buru aku ambil ponsel untuk mengecek kembali beberapa pesan yang belum sempat aku baca.
”Selamat malam Pak, bagaimana soal Karin apakah sudah bisa dihubungi?”, isi pesan dari salah satu guru.
“Hari ini rencananya saya akan berkunjung ke rumahnya Bu, ternyata rumahnya di daerah Cipanengah.”, balasku.
”Ooh… kalau tidak salah itu dekat dengan kebun Pak Cahya. Coba hubungi beliau, barangkali beliau bisa membantu.”, jawab guru tersebut.
Tidak lama aku langsung menghubungi Pak Cahya, salah seorang guru di sekolah kami, dan meminta beliau untuk menemaniku berkunjung ke rumah Karin. Untungnya beliau bersedia menemani. Jam 8 pagi setelah sarapan aku bersiap untuk berangkat.
“Ayah mau kerja? Kan hari ini libur.”, suara gadis kecilku mengalihkan pikiranku sejenak.
“Maaf ya Nak, Ayah ada urusan dulu sebentar yang harus diselesaikan. Setelah selesai nanti kita main lagi, ok!”, kupeluk erat gadis kecilku.
Ada rasa bersalah yang muncul di ruang hatiku
saat itu. Selama pembelajaran daring ini, hampir setiap hari aku sibuk di depan
laptop menyiapkan bahan pembelajaran untuk aku mengajar di kelas online, bahkan
hingga larut malam untuk membuat media pembelajaran seperti PPT. Keluarga
memang selalu melihat kehadiranku di rumah, namun interaksiku bersama mereka
sangat terbatas, terutama untuk putri kecilku. Sulit sekali mendapatkan waktu
untuk bercengkrama bersamanya.
Singkat
cerita, aku dan Pak Cahya sampai di daerah Cipanengah. Tampak hamparan sawah
dan ladang di sekitar. Aku terpaksa harus menyimpan motorku di pinggir jalan
desa, karena untuk menuju ke rumah Karin kami harus melalui jalan setapak dan
jembatan bambu untuk menyebrangi sebuah sungai yang berarus lumayan kencang,
dengan waktu tempuh sekitar 35 menit dari jalan utama. Akhirnya kami sampai di
sebuah rumah kecil yang terletak di tengah-tengah sawah dan tidak ada rumah
lain di sekitarnya. Aku melihat Karin yang sedang membopong seorang wanita
paruh baya – mungkin ibunya, pikirku yang sedikit lelah.
“Permisi…”,
aku menyapa Karin.
“Yak…eh,
Bapak…”, Karin tampak heran dan sedikit terkejut dengan kedatangan kami.
Setelah aku
berbincang dengan kedua orangtua Karin dan menjelaskan maksud dari
kedatanganku, Karin pun menceritakan kenapa Ia tidak lagi mengerjakan
tugas-tugasnya dari sekolah. Ternyata kendalanya adalah sulit untuk mendapatkan
sinyal dan orangtua Karin tidak memiliki ponsel, jadi sangat sulit untuk
berkomunikasi. Ponsel yang Karin miliki untuk belajar daring adalah
satu-satunya pemberian ayahnya hasil dari mengolah ladang.
Ketika
sebelum pandemi, Karin selalu berangkat sekolah diantar ayahnya menggunakan
motor, namun pulang sekolah Karin naik angkot dan berjalan kaki menuju rumahnya
yang cukup jauh dari jalan utama. Selain mengalami kesulitan sinyal untuk
mengerjakan tugas sekolah, Karin pun terpaksa mengabaikan tugas sekolah karena
harus merawat ibunya yang sedang sakit.
“Karin,
tugas sekolah itu harus tetap dikerjakan walapun secara daring. Karin juga
harus tetap semangat untuk belajar ya!”, tegasku saat itu.
“Iya, Pak.”,
jawab Karin pelan.
“Bagaimana
jika seluruh tugas akan Bapak print atau dicetak berupa modul, nanti modulnya
bisa Karin ambil ke sekolah atau bapak antarkan ke rumah Karin, namun waktu
pengerjaannya paling lambat satu minggu, jadi Karin kesekolahnya hanya satu
minggu sekali saja, mengantar hasil tugasnya dan mengambil tugas selanjutnya
dan bisa sekalian menanyakan hal-hal yang kurang dimengerti dari materi
pelajaran saat datang ke sekolah.”, aku mencoba menawarkan solusi dariku untuk Karin.
“Iya Pak, saya
mau. Saya akan berusaha untuk mengerjakan tugas-tugasku dari sekolah.”, jawab
Karin.
Sebelum hari
mulai malam, aku dan Pak Cahya pamit dari rumah Karin. Kami kembali menapaki
jalan sempit lagi namun kali ini ada perasaan lapang, setidaknya kami sudah memberi
sebuah kemudahan bagi salah satu siswa yang mengalami kesulitan dalam
menjalankan proses belajar secara daring di masa pandemi ini. Bukan hanya siswa
Karin saja, tetapi semua siswa pada dasarnya berhak mendapatkan sebuah bantuan
apabila mengalami kendala atau kesulitan dalam proses belajar.
Cerita di
atas hanya salah satu pengalaman tentang bagaimana kita bersikap dan bertindak
sebagai pendidik yang juga senantiasa menjadi pembelajar. Pada hakikatnya, kita
bisa belajar setiap saat dari kehidupan yang kita jumpai sehari-hari agar
menumbuhkan rasa empati kita terhadap sesama. Tugas sebagai guru tidak hanya
memberikan tugas kepada siswa, kemudian memberi nilai, lalu selesai begitu
saja. Tidak, tidak hanya sampai di situ. Justru harus memahami bagaimana proses
belajar mereka, apakah ada kendala yang dihadapi atau tidak, tentunya dengan
cara menjaga komunikasi dengan mereka. Pandemi menuntut kita semua untuk bisa
menyesuaikan diri kita dengan beberapa perubahan pada seluruh aspek kehidupan,
tak terkecuali kegiatan belajar mengajar yang harus dilaksanakan secara daring.
Kondisi ini menuntut kita untuk menjadi lebih kreatif dan tetap memberikan
pembelajaran yang berkualitas dan menyenangkan bagi para siswa.
~Tamat ~
Penulis: X IPA 1 / Benediktus Alvin Himawan / 05 /SMA Tarakanita Gading Serpong