Article Detail

Cerpen : STIGMA TERHADAP PEREMPUAN

STIGMA TERHADAP PEREMPUAN

Mulai dari matahari melukis pagi sampai dengan warna jingga yang mengakhiri hari, tak henti-hentinya Ayah menasihatiku mengenai prinsip wanita. Dia seolah-olah pakar dari segala urusan wanita dan masa depannya. Bak professor gayanya ketika menjelaskan hakikat sifat-sifat wanita yang membuatku merinding.

“Sudahlah, cukup sampai S1 saja, nanti lelaki takut untuk melamarmu. Wanita itu harusnya patuh,” ucap Ayah ketika aku mengatakan akan melanjutkan S2 tahun ini.

Sudah lelah aku mengatakan berjuta-juta alasan pada Ayah. Beliau akan selalu berpegang teguh pada pendiriannya. Ayah paling benci jika perempuan berpendidikan, katanya mereka itu orang yang suka melawan nasihat, tidak bisa diatur, dan tidak patuh. Aku terlalu mandiri katanya, pacar juga tidak punya, bukannya aku tidak suka lelaki tetapi memang belum ada sosok yang tepat untukku. Mereka sering bilang kalau paras cantik wajahku ini sia-sia karena tidak digunakan dengan baik. Nah, mereka peduli amat sama aku, lagi pula aku enjoy kok dengan kehidupanku. So what?

Kenapa Ayah bisa-bisanya punya pemikiran kolot seperti itu, ini sudah tahun 2022 bukan zaman penjajahan lagi. Bukankah lelaki tahu, wanita bisa menjadi apa saja, menanak nasi, memakai dasi, melahirkan bayi, hingga memimpin sebuah negeri. Namun, masih ada saja lelaki minder yang tidak ingin wanitanya berpendidikan tinggi, katanya wanita itu ga perlu berpendidikan tinggi karena ujung-ujungnya juga di dapur.

“Kamu dengar perkataan Ayah? Besok Felix mau datang, dia sudah mapan dan sudah siap untuk melamarmu” kata-kata Ayah menguap begitu saja di telingaku, entah nama lelaki ke berapa yang Ia sebutkan.

Sembari menyiapkan makan malam, aku mendengarkan Ayah yang menceramahiku tentang kodrat wanita. Bahwa wanita itu tidak boleh menyamai derajat laki-laki, wanita itu hakikatnya selalu lemah dan harus dilindungi, wanita itu harus mengatakan ‘Ya’ pada semua keinginan lelaki, dan pernyataan patriarki yang mengedepankan ego lelaki terucap dari bibir Ayah. Lalu, apakah perjuangan Ibu Kartini agar wanita bisa setara dengan lelaki terlupakan begitu saja? Lihatlah di luar sana, banyak wanita-wanita hebat dan kuat yang berumah tangga tetapi tetap memperjuangkan hak-haknya sebagai wanita.

“Hei, kamu itu kalau dibilangin selalu memberontak terus persis seperti Mamamu! Kamu itu perempuan, sadarlah jangan sok-sok-an menjadi lelaki!” Ayah mulai marah terbukti dari nada kata-katanya yang semakin tinggi.

Aku hanya dapat tersenyum singkat, selalu saja seperti ini. Aku merasa perempuan adalah makhluk yang bebas sama seperti laki-laki. Kaum perempuan mempunyai pilihan mereka sendiri, ini bukanlah zaman kerajaan dimana suara wanita terus dibungkam. Kami memang memperjuangkan kesetaraan dengan laki-laki, tetapi bukan berarti kami ingin menjadi laki-laki. Sama sekali bukan seperti itu. Perempuan berpendidikan dan laki-laki berpendidikan membentuk suatu keluarga yang harmonis dan sempurna. Jadi bukan saling menggantikan tetapi saling melengkapi. Tak peduli mau berakhir menjadi wanita yang bekerja kantoran ataupun menjadi ibu rumah tangga untuk mengurusi keluarga, tetapi seorang perempuan haruslah berpendidikan. Karena perempuan adalah pemilik rahim peradaban, dimana anak-anak bangsa akan terlahir dari kecerdasannya.

“Siapa yang tidak membolehkan putriku melanjutkan pendidikan?” ucap Mama sepulang kerja sambil menatap tajam kepada Ayah.

Mama adalah sosok Kartini sejati yang membuat Ayah gelagapan dan diam seribu bahasa. Kata-kata Ayah soal kodrat wanita langsung menguap begitu saja, bak angin tertelan suara malam. Ayah memang seperti itu, seorang penggangguran yang kerjaannya menyombongkan dan mengeluh. Dia pemalas hingga akhirnya dipecat dan tak ingin bekerja lagi. Bukannya mencari pekerjaan, setiap hari kerjaannya hanya mencaci maki Mama yang bekerja untuk menghidupi kami sekeluarga.

Kata-katanya soal hakikat wanita malah mempertegas rasa tidak percaya dirinya kepada kaum wanita. Entah apa maunya lelaki satu ini, mana waktu itu dia bilang dulu Ayah yang memaksa memberiku nama Kartini. Katanya biar aku bisa menjadi wanita hebat seperti Ibu Kartini. Tapi apa yang terjadi? Dia menjilat ludahnya sendiri dan mengatakan bahwa emansipasi itu sia-sia, mungkin Ia tidak sanggup hidup bersama perempuan-perempuan hebat seperti kami. Kuharap waktu dapat menyembuhkan Ayah dan mengembalikan pikiran sehatnya. Ayah didiagnosis mengalami gangguan kejiwaan, ketika penyakitnya itu kambuh, Ia menjelma menjadi pakar dari segala urusan wanita dan melarang-larang aku untuk menjadi wanita yang berpendidikan. Itu sebabnya kubiarkan Ia mengoceh tidak jelas dari tadi.

TAMAT

Penulis : Andreas Derren Wijaya (Kelas : X IPA 2)

 

 

 

 

 

Comments
  • there are no comments yet
Leave a comment