Article Detail

Di Kampung Adat Cireundeu

Di Kampung Adat Cireundeu

hl

Jalan menanjak penuh lobang, menyambut rombongan. Pintu gerbang Kampung Adat Cireundeu masih kira  – kira satu setengah kilo meter ke arah atas. Jalan menyempit dan sebagian ambles, membuat sopir sedikit ragu, apakah badan jalan mampu menampung armadanya. Pelan dan benar – benar merayap, laju bus ke arah atas untuk menghindari goyangan yang keras. Pepohonan yang tumbuh subur, berayun dihembus angin pagi, melambai menyambut rombongan.

 

Jalan makin menyempit dan membuat pengemudi kembali ragu, adakah tempat yang cukup untuk berbalik arah nanti. Di kanan kiri berdiri rumah – rumah para pengepul barang bekas, tertutup rimbunnya pepohonan. Sisa – sisa masa lalu, bau kurang sedap sampah belum hilang sempurna. Ya … di sinilah puluhan tahun lalu, sejak tahun 1987 menjadi tempat pembuangan akhir sampah – sampah dari seluruh kota Bandung. TPA Luwi Gajah.  Dahulu gunung sampahlah yang menjadi pemandangan utama di daerah ini. Tragedi longsornya gunung sampah  tahun 2005 yang menewaskan 147 jiwa  mengubah segalanya. Atas desakan banyak pihak, TPA itu ditutup. Dan kini gunung sampah itu telah berubah. Pelan namun pasti, bukit sampah itu berubah menjadi bukit – bukit yang mulai menghijau.

 

Kampung adat yang selama puluhan tahun terisolasi oleh gunung sampah kembali mendapat akses jalan yang lebih nyaman. Bala dari sampah yang puluhan tahun dirasakan akhirnya menghilang. Bala yang dimaksud adalah Bau dan Lalat yang selama TPA ada, harus ‘dinikmati’ oleh warga Kampung adat. Musibah longsor telah menjadi berkah bagi warga kampung adat Cireundeu. Akses jalan yang lebih nyaman kembali di dapat. Bau dan Lalat menghilang. Mereka bisa hidup dengan tenang. Walapun sumber air yang bersih dan terus mengalir tetap tak bisa kembali. Sebab di TPA itulah dulu sumber air berada.

 

Tepat dibelakang kantor RW 10 Luwi Gajah inilah TPA dahulu berada. Bus rombongan parkir tepat di depannya .

Tepat dibelakang kantor RW 10 Luwi Gajah inilah TPA dahulu berada. Bus rombongan parkir tepat di depannya .

Ini penampakan bekas TPA saat ini. Sudah terlihat hijau, penuh dengan semak - semak.

Ini penampakan bekas TPA saat ini. Sudah terlihat hijau, penuh dengan semak – semak.

 

 

Bus rombongan parkir di tanah penuh rumput, yang letaknya sedikit lebih tinggi dari jalan, tempat di depan kantor RW 10 Luwi Gajah. Tepat di belakang Kantor RW itulah dulu gunung sampah berada.

 

Jalan menurun tajam, berlapis semen. Kurang lebih 100 meter dari tempat parkir bus, gerbang kampung adat sudah menyambut. Papan selamat datang, berukuran kurang lebih 3 x 2 meter, tertulis wilujeng sumping, dalam aksara jawa dan latin menyambut rombongan. Atap dari rumbia dengan bagian atas diberi aksesori ijuk hitam, meluai menghidupkan suasana adat yang khas.

 

Para siswa tepat di gerbang Kampung Adat Cireundeu.

Para siswa tepat di gerbang Kampung Adat Cireundeu.

 

Setelah mendapatkan penjelasan singkat dari pak Sulis, agar siswa tertib dan menjaga sopan santun rombongan berjalan masuk kea rah kampung adat Cireundeu. Jalan menukit sempit. Melewati samping rumah warga. Setelah menelusup melewati gang – gang sempit antar rumah, sebuah lapangan badminton bercat hijau terbentang di depan rombongan. Tepat diseberangnya berdiri balai warga Kampung Adat Cireundeu.

Balai warga ini terdiri dari tiga bangunan utama. Satu balai dengan tiang – tiang kayu utuh, berada dibagian paling tinggi. Dibangun terbuka tanpa dinding menyerupai panggung terbuka berukuran kurang lebih 4 x 4 meter. Satu bagian lagi rumah dengan ukuran yang lebih luas, kurang lebih 6 x 6 meter. Bangunan ini seluruh dindingnya dilapisi bambu. Inilah bangunan utama dari balai warga kampung adat Cireundeu. Di sini disimpan berbagai alat music khas Jawa Barat. Seperti angklung, kendang, dan seperangkat gamelan. Di bagian dinding yang dilapisi bambu, dipajang foto – foto para pejabat tinggi yang pernah datang mengunjungi kampung adat ini. Salah satunya foto presiden SBY bersama itu Ani. Satu bangunan lagi sebuah bangunan permanen, berdinding tembok. Bangunan ini menjadi tempat tinggal abah sesepuh kampung. Di salah satu bagian rumah ini difungsikan untuk sekolah anak usia dini ( PAUD).  Agak terpisah ke bagian bawah, ada bangunan terbuka yang digunakan untuk mengolah ketela di mana para siswa nanti akan diajak untuk melihat bagaimana memproses ketela menjadi rasi, atau beras singkong yang menjadi makanan pokok warga.

 

Empat orang wakil warga adat menyambut rombongan.  Berpakain serba hitam dengan ikat kepala. Kang Yana sebagai juru bicara mempersilahkan rombongan untuk masuk ke balai utama. Sebagian siswa berada di dalam, dan sebagian lainnya berada dib alai panggung yang terhubung langsung dengan balai utama.

 

Pak Sulis membuka acara, dilanjutkan oleh abah, lelaki setengah abad lebih dengan kumis melintang ini, adalah tetua adat juga kang Yana yang membagi cerita secara detail tentang kampung adat Cireundeu. Dengan gaya yang cukup menarik, penyampaian yang runut, para siswa tertib menyimak sepanjang pertemuan.  Usai penjelasan dari kang Yana, acara dilanjutkan dengan Tanya jawab. Para siswa terlihat cukup antusias untuk menggali lebih dalam, menambah pengetahuan tentang kampung adat ini. Bahkan usai acara beberapa siswa, berbincang lagi dengan beberapa tokoh adat ini.

Empat tokoh adat yang menerima rombongan

Empat tokoh adat yang menerima rombongan

Para siswa dengan serius mendengarkan penjelasan dari Kang Yana tentang kampung adat Cireundeu.

Para siswa dengan serius mendengarkan penjelasan dari Kang Yana tentang kampung adat Cireundeu.

 

in3

in5

Para siswa antusias untuk mengetahui lebih banyak tentang kampung adat ini.

Para siswa antusias untuk mengetahui lebih banyak tentang kampung adat ini.

 

g1

Pak Sulis dan Pak Agus ikut menggali lebih jauh tentang kearifan masyarakat adat Cireundeu

Pak Sulis dan Pak Agus ikut menggali lebih jauh tentang kearifan masyarakat adat Cireundeu

Acara dilanjutkan dengan makan siang. Para siswa berkesempatan untuk merasakan rasi, makanan pokok warga adat. Karena waktunya makan memang sudah sedikit terlewat, terlihat para siswa dengan lahap menyantap rasi, beras singkong, seperti melahap nasi beras biasa. Makan siang dengan menu sayur daun singkong, sayur tempe, tahu goreng dan ayam goreng ini benar – benar dasyat. Nasi sebakul yang disediakan warga habis. Benar – benar habis.

 

eat1eat2eat3

Menikmati makan siang istimewa.

Menikmati makan siang istimewa.

Setelah peruh terisi dengan rasi yang ternyata selesat nasi, para siswa diajak untuk melihat bagaimana memproses singkong menjadi rasi. Tempatnya agak sedikit dibelakang ke bagian yang sedikit lebih rendah. Beberapa mesin penggiling/pemarut dengan tenaga listrik tersedia di sana. Para siswa terlihat antusias melihat seluruh proses mengolah ketela hingga menjadi rasi.

w1w2

Melihat proses pembuatan rasi dan ikut sedikit belajar.

Melihat proses pembuatan rasi dan ikut sedikit belajar.

 

Setelah semua usai, saatnya berpamitan. Semua siswa kembali balai utama. Ibu Iin selaku wakil sekolah mengucapkan banyak terima kasih, atas penerimaan yang begitu luar biasa dari warga adat Cireundeu. Juga makan siang yang begitu luar biasa. Pujian tak lupa diberikan kepada Kang Yana, yang dengan bahasa yang cerdas memberikan penjelasan kepada para siswa tentang pentingnya hidup selaras dengan alam, agar anak cucuk kita tetap bisa menikmati kekayaan alam negeri kita. Kurang lebih pukul 14.30 WIB rombongan meninggalkan Kampung Adat Cireundeu menuju penginapan di daerah Cihampelas.

 

Bu Iin sebagai wakil sekolah menyerahkan kenang - kenangan, diterima oleh kang Yana sebagai wakil warga adat.

Bu Iin sebagai wakil sekolah menyerahkan kenang – kenangan, diterima oleh kang Yana sebagai wakil warga adat.

 

Bergaya dulu, di depan balai warga sebelum pulang.

Bergaya dulu, di depan balai warga sebelum pulang.

 

pul4

Kami mohon pamit yang Kang, terima kasih telah diterima dengan ramah dan terbuka.

Kami mohon pamit yang Kang, terima kasih telah diterima dengan ramah dan terbuka.

 

Comments
  • there are no comments yet
Leave a comment